Uncategorized
Kemana Gerakan Mahasiswa ?
Ricky Tamba, S.E Pegiat Jaringan ’98, mantan aktivis mahasiswa Gerakan Reformasi 1998 |
Oleh: Ricky Tamba, S.E Pegiat Jaringan ’98, mantan aktivis mahasiswa Gerakan Reformasi 1998
SBNews Jakarta – Menjadi keniscayaan sejarah bahwa pada setiap era di belahan dunia mana pun selalu muncul perlawanan terhadap struktur kekuasaan yang ada. Dengan dasar perjuangan ekonomi, politik, ataupun sosial, upaya-upaya tersebut mendorong progresivitas gerak sejarah perkembangan masyarakat dunia. Metode perlawanan yang terjadi sangatlah variatif dan dipengaruhi oleh struktur sosial masyarakat juga pola penindasan yang berlangsung pada zamannya, sejak masa perbudakan hingga era kapitalisme sekarang ini.
Perlawanan Menjadi Gerakan
Mayoritas perlawanan terjadi secara spontan yang dalam perkembangannya acap mengalami kegagalan dan kehancuran. Spontan karena merupakan reaksi secara cepat terhadap suatu insiden/ peristiwa/ kebijakan penguasa yang dirasa merugikan individu dan atau kelompok. Struktur perlawanan sangat longgar tanpa kriteria kepemimpinan yang jelas, minim panduan teori dan analisis masalah, serta hanya sebatas memperjuangkan hal-hal yang sangat ekonomis tanpa tujuan untuk merebut atau menjatuhkan otoritas ekonomi-politik yang berkuasa.
Umumnya spontanitas ini dapat diatasi dengan dengan mudah oleh penguasa karena struktur kekuasaan lebih solid dan komprehensif dalam banyak hal, memiliki kelengkapan kerja, yakni aparatus represif (tentara, intelijen, jaksa, polisi, dan sebagainya) dan aparatus ideologis (lembaga pendidikan, media massa, lembaga keagamaan, dan lain sebagainya); lebih variatif akan taktik dan pola meredam perlawanan termasuk dalam penggunaan sogokan/ konsesi kepada elit/ tokoh perlawanan.
Dalam perkembangannya, perlawanan terus berkembang. Dari sekadar perjuangan ekonomisme berevolusi menjadi perjuangan politik dan perjuangan sosial yang lebih menohok jantung kekuasaan. Berefleksi dari berbagai sejarah kegagalan perjuangan ekonomisme, muncullah simpulan bahwa perlawanan kaum tertindas dan marjinal juga harus diarahkan kepada perubahan sistem politik bahkan bila perlu menggantikannya dengan struktur dan sistem baru yang lebih berpihak kepada kaum tertindas dan yang dimarjinalkan.
Perlawanan mensyaratkan sebuah landasan berpikir dan bertindak yang jelas (baca: strategi taktik), diwadahi dalam sebuah organisasi (ormas atau partai politik) yang memiliki program perjuangan ekonomi-politik-budaya, struktur dan pembagian kerja yang jelas dan solid disandarkan pada kesamaan cita-cita dan atau ideologi; tidak lagi bergantung pada figur kepemimpinan rapuh dan mudah dipatahkan dengan konsesi kesejahteraan dan jabatan dalam kekuasaan. Perlawanan yang lebih sistematis dan terorganisasi inilah akhirnya disebut sebagai gerakan.
Negara dan Rakyat
Di era kapitalisme, penindasan semakin terstruktur. Dari “hanya sebatas” kolonialisme dan penindasan secara fisik; kapitalisme “mempercantik diri” dengan cara yang lebih halus. Eksploitasi dan penindasan lebih didasarkan pada penumpukan nilai lebih hasil kapitalisasi finansial di bawah pasar bebas tanpa harus melakukan ekspansi dan agresi teritorial selama dirasakan tidak diperlukan.
Inilah wajah baru kapitalisme: neoliberalisme! Di berbagai negara khususnya negara dunia ketiga yang miskin dan terbelakang, neoliberalisme berjalan dibungkus legalitas hukum dan prosedural demokrasi yang menekankan tiada proteksi negara terhadap produksi dan sektor yang menguasai hajat hidup rakyat, efisiensi keuangan dalam bentuk pencabutan subsidi, profesionalisasi perusahaan-perusahaan besar dalam bentuk privatisasi/ swastanisasi yang notabene kekuatan modal asing. Selain keharusan menjalankan rutinitas pemilihan umum untuk membentuk rezim pro-pasar demi arus investasi, hingga penggunaan mekanisme hukum dan pengerahan kekuatan represif dalam masalah domestik yang mengganggu stabilitas ekonomi dan keamanan modal asing.
Di bawah neoliberalisme, transisi demokrasi di Indonesia berjalan dari kediktatoran Orde Baru menuju keterbukaan pasca Reformasi 1998. Kebebasan pascareformasi merebakkan perlawanan rakyat. Sebagian berhasil mencapai sasaran dan atau merebut haknya kembali, tetapi mayoritas gagal. Angka kemiskinan semakin meresahkan: 37,17 juta rakyat berpenghasilan di bawah 2 dolar AS/ hari, 10,55 juta jiwa pengangguran usia produktif (per tahun 2007), pelayanan kesehatan semakin mahal, pendidikan tidak kreatif dan “membebaskan” hanya menciptakan tenaga buruh murah, kepastian hukum menjadi komoditas untuk orang kaya dan koruptor.
Modal asing (yang antikemanusiaan) merambah ke sektor penting yang menguasai hajat hidup rakyat seperti air, transportasi, dan lain-lain sehingga proses produksi dalam negeri sangat bergantung pada pihak asing. Sementara harga jual komoditas rakyat dibanderol murah dengan alasan standar mutu yang rendah di pangsa pasar global. Independensi bangsa menurun karena pembangunan masih berharap pada bantuan dan hutang luar negeri (terus bertambah tanpa transparansi); enggan untuk mengembangkan potensi bangsa, misalnya sektor usaha kecil menengah (UKM) yang terbukti survive melewati krisis dan menyerap banyak tenaga kerja.
Dampak lain yang menyedihkan adalah melonjaknya angka kriminalitas, kematian akibat penyakit, penjualan perempuan di bawah umur untuk dijadikan pekerja seks komersial (PSK), hingga tren terbaru adalah eskalasi konflik lokal dan terjadinya terorisme di Indonesia. Di bawah neoliberalisme, kekuasaan dan penindasan dapat berjalan seiring; tanpa keadilan dan kedamaian.
Reorientasi Gerakan
Indonesia memiliki sejarah perlawanan oposisi yang panjang dengan gerakan mahasiswa sebagai unsur pentingnya. Dalam sejarah gerakan mahasiswa di Indonesia tercatat berbagai periode penting mulai dari gerakan mahasiswa 1928, 1945, 1966, 1974, 1978, 1980-an dan 1998.
Mahasiswa menjadi elemen penting dalam setiap perubahan dan atau pergantian kekuasaan. Mahasiswa mempunyai kekuatan pendobrak karena relatif masih muda, memiliki kemampuan analisis masalah yang baik serta keberanian dan semangat juang menegakkan kebenaran.
Ironisnya, gerakan mahasiswa selalu berhasil mendorong eskalasi perlawanan, tetapi pada akhirnya terdegradasi perlahan sebelum mencapai tujuan. Gerakan mahasiswa selalu dimanipulasi oleh para pembonceng dan elit politik busuk bertopeng senioritas dan teori pembenaran, sehingga kini gerakan mahasiswa melemah kalau tidak boleh dikatakan menghilang.
Klaim gerakan mahasiswa dan energi yang tersisa malah terjebak secara menyedihkan untuk dukung-mendukung berbagai faksi elit dan atau kepentingan kelompok; yang seharusnya dipergunakan untuk melakukan pembelaan terhadap problem buruh, petani, dan sektor tertindas lainnya serta aksi-aksi menentang segala kebijakan ekonomi-politik penguasa yang salah.
Konsolidasi demokrasi harus terus berjalan walau di bawah rezim yang “seakan humanis dan populis” yang terlegitimasi berbagai prosedural demokrasi. Bahaya otoritarianisme dapat muncul kembali bila tak ada kekuatan oposisi yang mumpuni dan terorganisasi. Gerakan mahasiswa dapat berperan sebagai katalisator dan provokator (memajukan kesadaran politik rakyat) demi menjaga dinamika dan arah kebijakan pembangunan negara.
Gerakan mahasiswa harus mampu menjadi gerakan politik yang bermoral; sebuah gerakan yang berpihak kepada rakyat dengan tuntutan ekonomi-politik yang jelas dan konsisten disertai dengan penerapan strategi-taktik, program perjuangan, dan pemilihan aliansi yang demokratik, cerdas dan tepat, juga tidak boleh menjadi subordinat kekuasaan dan atau pertarungan elit. Aksi, evaluasi dan refleksi kritis gerakan mahasiswa harus dimulai kembali sejak sekarang sebelum keresahan rakyat yang laten meledak dalam bentuk yang salah.
Gerakan mahasiswa dan para aktivisnya harus renungkan kutipan berikut ini: “Sebuah perjuangan yang sejati, yang lahir dari kedalaman keyakinan iman dan rasa tanggungjawab kemanusiaan, tidak akan gentar menghadapi konsekuensi dari perjuangan ini. Sejatinya, sebagai manusia saya lemah. Tetapi saya tidak dapat membiarkan diri buta hati terhadap saudara yang lemah, cemas dan gelisah. Apa pun konsekuensinya, saya senantiasa berjuang bersama mereka yang selalu kalah dan menjadi korban dalam derap langkah pembangunan negeri ini” (Pleidoi Rm. Frans Amanue Pr, Ketua Komisi Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Larantuka di depan Pengadilan Negeri Larantuka, 11 November 2003).