Ini Kata Satria Lawyer Korban Pencabulan Terkait Restitusi
Kab. Pandeglang – Mengenai adanya berita pada media online terkait ganti kerugiaan restitusi yang telah disepakati oleh antar pihak, diduga pelaku yang dinyatakan secara tertulis dan ditandatangani oleh para saksi, ini merupakan kesepakatan bersama yang secara sadar, dan dalam keadaan sehat jasmani serta rohani tidak dalam tekanan dan ancaman pihak manapun, kesepakatan bersama itu ingin menyelasaikan permasalahan yang terjadi, maka ini merupakan mufakat yang nantinya akan diserahkan kepada pihak korban.
“Kesepakatan ini dibuat dan dilakukan di kantor desa Pasirkadu, yang mana Kepala Desa turut terlibat dan membuka jalannya musyawarah antara korban dan pihak-pihak yang diduga pelaku, dan juga terlampir daftar hadir peserta musyawarah,” tutur Satria Pratama pendamping hukum pihak korban, Selasa (16/06/2020).
“Ini memang perlu dijelaskan kepada publik, lanjut Satria, agar berita acara musyawarah yang telah disepakati oleh antar pihak yang diduga pelaku merupakan produk kesepakatan. Dan produk kesepakatan ini jangan dijadikan ajang mencari panggung untuk eksis mengomentari di dalam media online. Apalagi pihak-pihak yang berkomentar ini tidak mengetahui dan terlibat secara langsung dalam agenda musyawarah yang telah dilakukan di kantor desa Pasirkadu,” jelasnya.
Masih kata Satria, bahwa setiap anak di Indonesia membutuhkan perlindungan hukum. Anak sebagai investasi masa depan tidak boleh tersakiti agar dapat tumbuh menjadi orang dewasa yang memiliki masa depan positif dan cerah, imbuhnya.
Satria juga memaparkan, bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Restitusi Bagi Anak yang Menjadi Korban Tindak Pidana disahkan Presiden Joko Widodo pada 16 Oktober 2017 dan diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 219 pada 16 Oktober 2017. Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2002 tentang kompensasi, Restitusi, dan Rehabilitasi terhadap korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat, Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, Penjelasan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Restitusi Bagi Anak yang Menjadi Korban Tindak Pidana dilampirkan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6131 dengan kata kunci: Sosial, Anak, Korban Tindak Pidan, dan Restitusi.
Lebih jauh Satria berkata, bahwa setiap Anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari kekerasan yang harus dihormati dan dipenuhi oleh siapapun, seperti dijelaskan dalam Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, mengamanatkan setiap orang bertanggung jawab untuk melindungi Anak dari kekerasan yang dapat mempengaruhi kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang anak secara wajar.
“1. Tindak pidana terhadap Anak bukan hanya menimbulkan penderitaan fisik maupun psikis yang mempengaruhi tumbuh kembang dan kualitas hidup Anak namun juga menimbulkan kerugian materiil maupun immateriil bagi pihak keluarga. Oleh karena itu, Undang – Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak memberikan perhatian besar untuk memberikan perlindungan khusus bagi Anak yaitu perlindungan bagi Anak yang berhadapan dengan hukum khususnya Anak korban, Anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, Anak yang menjadi korban pornografi, Anak korban penculikan, penjualan, dan/atau perdagangan, Anak korban kekerasan fisik dan/atau psikis, dan Anak korban kejahatan seksual atas penderitaan atau kerugian yang dialami pihak korban dalam bentuk pemberian ganti rugi dari pelaku atau Orang Tua pelaku, apabila pelaku merupakan Anak sebagai akibat tindak pidana yang dilakukan.
2. Selama ini apabila terjadi tindak pidana terhadap Anak, pihak korban tidak hanya menanggung sendiri kerugian materiil (yang dapat dihitung) dan kerugian immateriil (yang tidak dapat dihitung) antara lain kerugian berupa rasa malu, kehilangan harga diri, rendah diri, dan/atau kecemasan berlebihan yang bersifat traumatik. Kerugian ini seharusnya juga ditanggung oleh pelaku dalam bentuk Restitusi sebagai bentuk ganti rugi atas penderitaan yang dialami Anak yang menjadi korban tindak pidana maupun pihak korban.
3. Restitusi yang harus dibayarkan oleh pelaku tindak pidana dimaksudkan selain untuk mengganti kerugian atas kehilangan kekayaan, ganti kerugian atas penderitaan sebagai akibat tindak pidana, dan/atau penggantian biaya perawatan medis, dan/atau psikologis sebagai bentuk tanggung jawab tindak pidana yang dilakukan, juga dimaksudkan untuk meringankan penderitaan dan menegakkan keadilan bagi Anak yang menjadi korban tindak pidana sebagai akibat terjadinya tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana.
4. Pemberian Restitusi kepada Anak yang menjadi korban tindak pidana harus dilaksanakan secara tepat, tidak salah sasaran, serta tidak disalahgunakan. Restitusi harus diberikan dan diterima oleh Anak yang menjadi korban tindak pidana atau pihak korban sesuai dengan kerugian dan kondisi Anak yang menjadi korban tindak pidana.
5. Peraturan Pemerintah ini mengatur mengenai tata cara pengajuan dan pemberian Restitusi kepada Anak yang menjadi korban tindak pidana, dengan harapan akan memperjelas persyaratan bagi pihak korban untuk mengajukan permohonan Restitusi yang dilaksanakan sejak kasusnya berada pada tahap penyidikan maupun penuntutan. Selain itu, memperjelas penyidik dan penuntut umum untuk membantu Anak yang menjadi korban tindak pidana dan pihak korban untuk mendapatkan hak memperoleh Restitusi.
Pertimbangan terbitnya PP 43 Tahun 2017 adalah untuk melaksanakan ketentuan Pasal 71D ayat (2) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Pelaksanaan Restitusi Bagi Anak yang Menjadi Korban Tindak Pidana, paparnya.
Ia juga menjelaskan, Landasan Hukum PP 43 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Restitusi Bagi Anak yang Menjadi Korban Tindak Pidana:
1. Pasal 5 UUD 1945,
2. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 297, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5606);
Pengertian PP 43/2017 tentang Pelaksanaan Restitusi Bagi Anak yang Menjadi Korban Tindak Pidana
1. Restitusi adalah pembayaran ganti kerugian yang dibebankan kepada pelaku berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atas kerugian materiil dan/atau immateriil yang diderita korban atau ahli warisnya.
2. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
3. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban yang selanjutnya disingkat LPSK adalah lembaga yang bertugas dan berwenang untuk memberikan perlindungan dan hak-hak lain kepada saksi dan/atau korban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.
4. Orang Tua adalah ayah dan/atau ibu kandung, atau ayah dan/atau ibu tiri, atau ayah dan/atau ibu angkat.
5. Wali adalah orang atau badan yang dalam kenyataannya menjalankan kekuasaan asuh sebagai Orang Tua terhadap Anak.
“Berdasarkan pemaparan tersebut, jelas bahwa dengan Dasar-dasar hukum tersebut maka kami kira apa yang telah dilakukan oleh antar pihak yang diduga pelaku, yaitu kesepakatan bersama, maka hal ini merupakan hal yang baik guna menyelesaikan permasalahan ini,” pungkas Satria. (M. Irfan Dani)