Uncategorized
Yanti Elvita : Boleh Berbeda, Tapi Jangan Saling Marah dan Benci
Yanti Elvita (tengah baju kuning) bersama siswi SMA di Kota Padang. |
Padang, SBN – Sosok wanita yang
identik dengan baju berwarna kuning ini, tiba – tiba menjadi perhatian publik,
khususnya Kota Padang dan sekitarnya. Ia begitu mempesona dengan buah pikiran
yang muncul dibeberapa statusnya di media sosial akhir – akhir ini.
identik dengan baju berwarna kuning ini, tiba – tiba menjadi perhatian publik,
khususnya Kota Padang dan sekitarnya. Ia begitu mempesona dengan buah pikiran
yang muncul dibeberapa statusnya di media sosial akhir – akhir ini.
Wanita
ini bernama Yanti Elvita. Tulisannya berjudul
‘Boleh Berbeda, Tapi Jangan Saling Marah dan Benci’, sangat menegaskan soal
toleransi. Bahwa, menurutnya bila perbedaan yang dicari-cari, bila perbedaan yang
kemuka-kemukakan, maka kecendrungan yang akan timbul adalah
pertentangan -pertentangan. Pada akhirnya yang muncul adalah “lawan”
dan “perlawanan”.
ini bernama Yanti Elvita. Tulisannya berjudul
‘Boleh Berbeda, Tapi Jangan Saling Marah dan Benci’, sangat menegaskan soal
toleransi. Bahwa, menurutnya bila perbedaan yang dicari-cari, bila perbedaan yang
kemuka-kemukakan, maka kecendrungan yang akan timbul adalah
pertentangan -pertentangan. Pada akhirnya yang muncul adalah “lawan”
dan “perlawanan”.
“Saya
ingat pada perkataan orang bijak, satu lawan teramat banyak- tertamat berat,
seribu kawan belumlah cukup. Unsur berlawanan itu adalah tekanan. Sementara, perlawanan
adalah saling menekan satu sama lain, saling menyerang, saling hantam, saling
sikut, saling caci maki dan saling hujat. Akhirnya kita berdarah-darah dan lelah sendiri. Ujungnya;
dendam kesumat!,” pungkas Yanti.
ingat pada perkataan orang bijak, satu lawan teramat banyak- tertamat berat,
seribu kawan belumlah cukup. Unsur berlawanan itu adalah tekanan. Sementara, perlawanan
adalah saling menekan satu sama lain, saling menyerang, saling hantam, saling
sikut, saling caci maki dan saling hujat. Akhirnya kita berdarah-darah dan lelah sendiri. Ujungnya;
dendam kesumat!,” pungkas Yanti.
Ia
juga menjelaskan, bahwa banyak di antara kita yang acap kali lepas kontrol ketika
saat melakukan “perlawanan”. Akibatnya, pertentangan makin tajam.
Segala “senjata” yang dapat melumpuhkan lawan dikokang, siap
ditembakkan untuk ‘melenyapkan’ eksistensi lawan.
juga menjelaskan, bahwa banyak di antara kita yang acap kali lepas kontrol ketika
saat melakukan “perlawanan”. Akibatnya, pertentangan makin tajam.
Segala “senjata” yang dapat melumpuhkan lawan dikokang, siap
ditembakkan untuk ‘melenyapkan’ eksistensi lawan.
Kemudian,
saling membunuh karakter berapi-api dari mulut senjata yang memuntahkan segala
sesuatu yang tajam-tajam dari lidah yang tak bertulang. Ia menghunus hulu hati
dengan kata-kata yang tak termakan oleh telinga.
saling membunuh karakter berapi-api dari mulut senjata yang memuntahkan segala
sesuatu yang tajam-tajam dari lidah yang tak bertulang. Ia menghunus hulu hati
dengan kata-kata yang tak termakan oleh telinga.
Lebih
parahnya lagi, was-was dan kecurigaan berlebihan menyelimuti pikiran-pikiran
yang makin memburuk. Pikiran kalau diselimuti dengan hal-hal yang buruk-buruk
maka hasilnya adalah ‘kejatuhan berpikir’ yang membuat segala elemen dalam diri
menjadi lumpuh dan runtuh. Sehingga tak ada lagi indra yang cerdas dan indra
yang jujur.
parahnya lagi, was-was dan kecurigaan berlebihan menyelimuti pikiran-pikiran
yang makin memburuk. Pikiran kalau diselimuti dengan hal-hal yang buruk-buruk
maka hasilnya adalah ‘kejatuhan berpikir’ yang membuat segala elemen dalam diri
menjadi lumpuh dan runtuh. Sehingga tak ada lagi indra yang cerdas dan indra
yang jujur.
Akibatnya,
mata melihat menjadi salah pandang. Karena melihat dengan dan dari tempat
berdiri yang buruk. Sehingga apa-apa yang tampak di ruang mata, jelek semua dan
buruk semua. Tak tersisa sedikit kebaikan di mata.
mata melihat menjadi salah pandang. Karena melihat dengan dan dari tempat
berdiri yang buruk. Sehingga apa-apa yang tampak di ruang mata, jelek semua dan
buruk semua. Tak tersisa sedikit kebaikan di mata.
Juga,
telinga mendengar menjadi salah dengar, karena anak telinga tersumbat dari
segala kebenaran. Akibatnya pula terjadi multitafsir. Penafsiran menjadi jauh meleset.
Kebenaran ia terjemahkan sesuai dengan
kepuasan hatinya sendiri. Lidah pun menjadi salah rasa, karena ujungnya penuh
dengan segala benci dan dendam.
telinga mendengar menjadi salah dengar, karena anak telinga tersumbat dari
segala kebenaran. Akibatnya pula terjadi multitafsir. Penafsiran menjadi jauh meleset.
Kebenaran ia terjemahkan sesuai dengan
kepuasan hatinya sendiri. Lidah pun menjadi salah rasa, karena ujungnya penuh
dengan segala benci dan dendam.
Kaki
melangkah menjadi salah arah karena dilangkahkan dengan segala itikad yang
buruk. Sepanjang jalan, bukan kenikmatan perjalanan yang bersua, namun
derita-derita yang mengantarkan langkah pada
alamat yang salah.
melangkah menjadi salah arah karena dilangkahkan dengan segala itikad yang
buruk. Sepanjang jalan, bukan kenikmatan perjalanan yang bersua, namun
derita-derita yang mengantarkan langkah pada
alamat yang salah.
Jantung
yang berdebar tak lagi harmonis. Detaknya dipicu oleh kegelisahan-kegelisahan
sehingga talinya makin menyempit, lama-lama menjadi putus. Hati yang hakikatnya tempat bersemayamnya
segala sesuatu yang putih menjadi keruh karena dugaan-dugaan negatif. Lama-lama
ia menjadi kumuh. Lalu rusak. Inilah apa yang disebut dengan sakit hati kronis.
yang berdebar tak lagi harmonis. Detaknya dipicu oleh kegelisahan-kegelisahan
sehingga talinya makin menyempit, lama-lama menjadi putus. Hati yang hakikatnya tempat bersemayamnya
segala sesuatu yang putih menjadi keruh karena dugaan-dugaan negatif. Lama-lama
ia menjadi kumuh. Lalu rusak. Inilah apa yang disebut dengan sakit hati kronis.
Kekhawatiran
makin tajam. Lama-lama , ujung kekhawatiran itu mengarah pada hulu hati
sendiri. Ini sakit dan ngilu. Cukam lukanya. Gara-gara mengemukakan
perbedaan-perbedaan tajam , kita menjadi orang yang sia-sia yang selalu
melangkah dalam gamang dalam berbagai ketakutan-ketakutan yang berlumut di
pikiran yang tak jernih.
makin tajam. Lama-lama , ujung kekhawatiran itu mengarah pada hulu hati
sendiri. Ini sakit dan ngilu. Cukam lukanya. Gara-gara mengemukakan
perbedaan-perbedaan tajam , kita menjadi orang yang sia-sia yang selalu
melangkah dalam gamang dalam berbagai ketakutan-ketakutan yang berlumut di
pikiran yang tak jernih.
“Dan
saat itu kita memandang hidup dan kehidupan dengan segala cita rasa negatif
karena diri sudah kita siapkan menjadi
supermarket kepesimisan. Insan pesimis mirip dengan perumpamaan; hidup segan, mati pun enggan. Kalau dunia
kita tatap dalam kepesimisan maka hati rusuh. Hati yang rusuh, muaranya airmata
kesedihan. Dalam sedih hati sakit.Amarah yang menyulut kebencian akan membuat
kita menderita sendiri dan benar-benar jatuh sakit,” imbuhnya.
saat itu kita memandang hidup dan kehidupan dengan segala cita rasa negatif
karena diri sudah kita siapkan menjadi
supermarket kepesimisan. Insan pesimis mirip dengan perumpamaan; hidup segan, mati pun enggan. Kalau dunia
kita tatap dalam kepesimisan maka hati rusuh. Hati yang rusuh, muaranya airmata
kesedihan. Dalam sedih hati sakit.Amarah yang menyulut kebencian akan membuat
kita menderita sendiri dan benar-benar jatuh sakit,” imbuhnya.
Ia
menjelaskan, bahwa marah merusak emosi dan otak. Ketika kita marah, darah akan
langsung mengalir ke frontal cortex
dan mengurangi kemampuan berpikir secara rasional. Marah, banyak membuat orang
bertindak tidak rasional dan akhirnya menyesal. Keputusan dan sikap yang
diambil dalam keadaan marah, pastilah tidak rasional. Dan ini, berbahaya bagi
lingkungan dan diri sendiri.
menjelaskan, bahwa marah merusak emosi dan otak. Ketika kita marah, darah akan
langsung mengalir ke frontal cortex
dan mengurangi kemampuan berpikir secara rasional. Marah, banyak membuat orang
bertindak tidak rasional dan akhirnya menyesal. Keputusan dan sikap yang
diambil dalam keadaan marah, pastilah tidak rasional. Dan ini, berbahaya bagi
lingkungan dan diri sendiri.
“Kalau
kita sebagai anak bangsa terjebak bersikap saling marah dan benci , itu alamat
buruk bagi keutuhan bangsa sendiri. Dan
sebenarnya, berbeda itu biasa. Tapi jangan sampai terjadi, berbeda pendapat
menimbulkan jurang permusuhan sesama kita. Itu sebagai salah satu ciri dari
demokrasi,” tukasnya.
kita sebagai anak bangsa terjebak bersikap saling marah dan benci , itu alamat
buruk bagi keutuhan bangsa sendiri. Dan
sebenarnya, berbeda itu biasa. Tapi jangan sampai terjadi, berbeda pendapat
menimbulkan jurang permusuhan sesama kita. Itu sebagai salah satu ciri dari
demokrasi,” tukasnya.
Lebih
rinci, demokrasi adalah bentuk atau sistem pemerintahan yang seluruh rakyatnya
turut serta memerintah dengan perantaraan wakilnya; pemerintahan rakyat.Demokrasi
adalah gagasan atau pandangan hidup yang
mengutamakan persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan yang sama bagi semua
warga negara.
rinci, demokrasi adalah bentuk atau sistem pemerintahan yang seluruh rakyatnya
turut serta memerintah dengan perantaraan wakilnya; pemerintahan rakyat.Demokrasi
adalah gagasan atau pandangan hidup yang
mengutamakan persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan yang sama bagi semua
warga negara.
Demokrasi
itu banyak jenisnya; ada demokrasi absolut, yakni demokrasi yang memberikan
kekuasaan tertinggi secara langsung kepada rakyat. Demokrasi parlementer, liberal
dan demokrasi terpimpin serta lain sebagainya.
itu banyak jenisnya; ada demokrasi absolut, yakni demokrasi yang memberikan
kekuasaan tertinggi secara langsung kepada rakyat. Demokrasi parlementer, liberal
dan demokrasi terpimpin serta lain sebagainya.
Negara
Indonesia pernah memakai sistem demokrasi terpimpin yang untuk pertama kali diumumkan secara
resmi di dalam pidato Presiden Soekarno pada tanggal 10 November 1956 ketika
membuka Konstituante, yaitu corak demokrasi yang mengenal satu pemimpin menuju
tujuan suatu masyarakat yang berkeadilan sosial. Tapi demokrasi terpimpin
runtuh akhirnya, karena tidak sesuai dengan kepribadian bangsa kita.
Indonesia pernah memakai sistem demokrasi terpimpin yang untuk pertama kali diumumkan secara
resmi di dalam pidato Presiden Soekarno pada tanggal 10 November 1956 ketika
membuka Konstituante, yaitu corak demokrasi yang mengenal satu pemimpin menuju
tujuan suatu masyarakat yang berkeadilan sosial. Tapi demokrasi terpimpin
runtuh akhirnya, karena tidak sesuai dengan kepribadian bangsa kita.
Lalu
demokrasi kita demokrasi apa? Ya, inilah demokrasi Pancasila. Yakni; demokrasi
yang berdasarkan sila pancasila yang dilihat sebagai suatu keseluruhan yang
utuh. Bhinneka Tunggal Ika,
berbeda-beda tapi tepat satu dan bersatu di wilayah NKRI.
demokrasi kita demokrasi apa? Ya, inilah demokrasi Pancasila. Yakni; demokrasi
yang berdasarkan sila pancasila yang dilihat sebagai suatu keseluruhan yang
utuh. Bhinneka Tunggal Ika,
berbeda-beda tapi tepat satu dan bersatu di wilayah NKRI.
“Untuk
itu, mari kita saling berjabat dan berbimbing tangan untuk kejayaan bangsa dan
negara. Boleh berbeda, tapi awas jangan saling marah dan benci,” tutup Yanti
Elvita. (Editor: Rico Adi Utama)
itu, mari kita saling berjabat dan berbimbing tangan untuk kejayaan bangsa dan
negara. Boleh berbeda, tapi awas jangan saling marah dan benci,” tutup Yanti
Elvita. (Editor: Rico Adi Utama)