Berita hari ini
UU Narkotika: “Masa Menjalani Rehabilitasi di Hitung Sebagai Masa Menjalani Hukuman”
Penulis :
SIBER.NEWS | Penyalahguna dalam proses hukum ditahan dan dipenjara membuat bandar narkotika terbahak bahak merasa diuntungkan. Kesalahan penerapan hukum dan penjatuhan hukuman dalam mengadili perkara penyalahgunaan narkotika.
Hal ini, menyebabkan ketentuan UU narkotika program pemerintah dalam menanggulangi pencegahan dan peredaran genap narkotika menjadi terkendala, antara lain:
1. Ketentuan hukum dan program pemerintah tentang jaminan upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi penyalah guna dan pecandu agar sembuh.
Tidak menjadi penyalah guna lagi sesuai tujuan UU narkotika karena penyalah guna narkotika nyatanya dipenjara (read: pasal 4d UU 35/2009).
Penyalah guna yang ditangkap dan dihukum penjara, menyebabkan penyalah guna berkarier menjadi residivis.
Ada contohnya seperti Jenniver Dunn, Doni Cipto Mangun Kusumo dan banyak “Jenniver- jenniver” yang lain yang telah 3 (tiga) kali divonis penjara.
Itu karena perkara penyalahgunaan narkotika, yaitu perkara kepemilikan narkotika untuk diri sendiri.
2. Ketentuan hukum dan program pemerintah mewajibkan korban penyalah gunaan narkotika dan pecandu wajib menjalani rehabilitasi juga “tidak terlaksana” dengan baik (read: pasal 54 UU 35/2009) yaitu:
Program wajib rehabilitasi bagi penyalah guna narkotika yang perannya sebagai korban penyalahgunaan narkotika dan pecandu yang berdasarkan Uu diwajibkan untuk menjalani rehabilitasi (read pasal 54).
Program wajib lapor bagi penyalah guna dalam keadaan ketergantungan /pecandu untuk mendapatkan perawatan rehabilitasi ke rumah sakit atau tempat rehabilitasi yang ditunjuk (read: pasal 55).
Dan program rehabilitasi secara dipaksa berdasarkan putusan hakim (read: pasal 103/1).
Kenapa Penyalahguna Sebagai Kriminal Diwajibkan Menjalani Rehabilitasi?
Karena, penyalah guna narkotika adalah orang sakit adiksi ketergantungan narkotika kronis. Artinya, rentan kambuh sebagai penyalah guna berulang.
Bukan karena sengaja menyalahgunakan narkotika. Akan tetapi, karena tuntutan sakit adiksi ketergantungan yang dideritanya.
Bila tidak terpenuhi maka mengakibatkan sakit yang gejala seperti “sakau”. Untuk menyembuhkan sakit adiksinya diperlukan proses rehabilitasi.
Rehabilitasi sendiri adalah proses medis agar sembuh dan tidak mengulangi perbuatannya (read: bukan penjara agar jera).
Rehabilitasi, juga berarti sanksi pidana bagi penyalah guna yang mengalami proses hukum.
UU narkotika menyatakan: “masa menjalani rehabilitasi dihitung sebagai masa menjalani hukuman” (pasal 103/2).
Bila tidak menjalani rehabilitasi, mereka pasti menjadi penyalah guna berulang bahkan seumur hidup menjadi penyalah guna narkotika.
Kalau dihukum penjara, justru juga dipastikan jadi penyalahguna berulang. Di dalam penjara, kalau tidak mendapatkan pelayanan rehabilitasi. Kalau tidak, ya, terjadi sakau bareng di dalam penjara.
Mereka menjadi penyalah guna berulang maupun residivis. Kenapa? Karena sakit adiksi ketergantungan narkotika dan gangguan mental kejiwaannyalah, yang mendorong dirinya menggunakan narkotika.
Artinya, penyalahguna dipenjara, tidak ada manfaatnya, kalau pengawasan selama dipenjaranya ketat timbul sakau bareng dilapas.
Kalau pengawasannya “lunak”, mereka akan menjadi penyalahguna berulang dalam penjara karena tuntutan sakitnya.
3. Program pemerintah untuk merehabilitasi penyalah guna dan dalam keadaan ketergantungan melalui wajib lapor pecandu ke IPWL (Institusi Penerima Wajib Lapor) menjadi “tidak jalan”.
Penyalah guna “takut” melapor ke IPWL untuk mendapatkan layanan rehabilitasi.
Mereka beranggapan, program wajib lapor pecandu tersebut, sebagai “jebakan badman” karena faktanya penyalah guna yang ditangkap dijebloskan ketahanan dan dijatuhi hukuman penjara.
Karena anggapan tersebut, meskipun sudah tersedia IPWL (rumah sakit, puskesmas dan lembaga rehabilitasi yang ditunjuk oleh Menteri kesehatan) yang sudah tersebar di seluruh Indonesia. Dan, yang mengawaki pun sudah dilatih. Namun, karena tidak “dipercaya” oleh para pecandu, kondisi IPWL sekarang ini bagai: “Hidup Segan Mati Tak Mau”.
Di samping menjadi kendala bagi program pemerintah, penyalahguna dijatuhi sanksi penjara oleh hakim, menyebabkan orang tua penyalah guna kehilangan hak.
Maksudnya, hak untuk mendapatkan akses rehabilitasi sebagai satu satunya cara bagi orang tua untuk menyembuhkan anaknya dari sakit adiksi ketergantungan narkotika.
Dampak penyalah guna dipenjara oleh hakim mengakibatkan:
1. Terjadinya pembiaran terhadap penyalahgunaan narkotika berulang (residivisme) di dalam penjara. Kalau tidak dibiarkan, justru terjadi “sakau” bersama akibat putus obat di dalam penjara.
Ini, dilema bagi Aparat Lapas.
2. Penyalah guna dijatuhi hukuman penjara menyebabkan prevalensi penyalah guna “trend”-nya naik. Kenaikan prevalensi penyalahguna, menyebabkan permintaan narkotika di Indonesia, jumlahnya bertambah besar.
3. Penyalah guna dijatuhi hukuman penjara menyebabkan Indonesia, menjadi pasar potensialnya bandar narkotika untuk mendapatkan keuntungan yang besar.
4. Penyala guna di penjara, diam diam menyebabkan Indonesia memasuki darurat narkotika yang saat ini kita rasakan
5. Penyalahguna dijatuhi hukuman penjara secara tidak sadar, menghasilkan generasi sakit adiksi kronis.
Mereka, kapan saja bisa relap, alih-alih menuju “Indonesia Emas 2050”, yang terjadi justru kehilangan generasi potensialnya atau lost generation.
Kalau hakim tetap menghukum penjara bagi penyalah guna narkotika.
Padahal, sanksi rehabilitasi itu sama dengan sanksi pidana berdasarkan UU narkotika dan bermanfaat bagi penyalahguna yang kecanduan, orang tua penyalah guna dan masarakat bangsa dan negara sesuai tujuan UU.
Dan hakim diwajibkan UU untuk menggunakan kewenangan ansolutnya dapat menjatuhkan hukuman rehabilitasi (read: pasal 103/1) ternyata tidak dilaksanakan
Pertanyaannya, apakah hakim mengerti tentang kewajibannya menghukum rehabilitasi bila memeriksa perkara penyalahgunaan narkotika ?
Dalam acara fokus grup discussion di Jogya, saya mendapat penjelasan bahwa sebagian Hakim ,tidak mengerti kewajibannya untuk menghukum rehabilitasi.
Sebagian hakim mengerti kewajiban hukumnya untuk menjatuhkan hukuman rehabilitas,i bila memeriksa perkara penyalahgunaan narkotika untuk diri sendiri.
Yang menarik adalah, hakim meskipun mengerti kewajibannya. Namun, karena terjadi salah kaprah dalam kurun waktu yang lama maka hakim memiliki “keputusasaan” dalam menjatuhkan hukuman rehabilitasi.
Kenapa? Karena takut dicurigai oleh teman sesama penegak hukum dan takut juga diperiksa pengawas akibat memutus di luar pakem.
Nah, kalau sudah demikian. Maka, harapan tinggal kepada Kapolri, Jaksa Agung, Ketua MA, Menteri Kumham, Menkes, Mensos dan KA BNN kumpul kembali.
Ayo, berembuk sambil minum kopi membahas implementasi sanksi rehabilitasi bagi penyalah guna narkotika.
Agar satu kata, satu perbuatan dan satu tujuan; penyalah guna dijamin UU mendapatkan upaya rehabilitasi, piye carane kok angel banget.
Editor : Teguh
Sumber : Antaranews.id