Kantor Pemasaran PT. BBL
Siber.news – Program penjualan kavling tanah buah Lantaburro dengan konsep syariah yang dikembangkan oleh PT Buana Barokah Lestari (BBL) di dua kecamatan wilayah Kabupaten Bogor bagian timur lagi-lagi menuai masalah. Dari mulai Lantaburro tahap satu di Desa Sukarasa, Kecamatan Tanjungsari, yang tersandung status HGU, sampai Lantaburro tahap ke dua di Desa Karyamekar, Kecamatan Cariu seluas 35 hektare itu kembali memanen masalah karena terkendala pembayaran ke para pemilik tanah yang belum lunas.
Investasi kavling tanah Lantaburro yang diklaim halal dan jauh dari riba dengan iming-iming keuntungan selangit saat ini tidak tanggung -tanggung meninggalkan sisa hutang kepada belasan para pemilik tanah yang nilainya mencapai Rp 1 miliar lebih. Persoalan pembayaran muncul ketika PT. BBL tidak langsung melakukan pembayaran ke pemilik tanah, bahkan tidak langsung dilibatkan dalam proses akad jual beli, tetapi sistem pembayaran diwakilkan melalui Jaji yang saat itu masih menjabat sebagai kepala Desa Karyamekar.
Geram dengan sistem manajemen pembayaran PT BBL yang dinilai kurang profesional, para pemilik tanah terpaksa melakukan penyegelan terhadap kantor pemasaran PT. Buana Barokah Lestari yang dinilai ingkar janji dan tak kunjung melunasi sisa hutangnya. Selain menyalahi komitmen dengan para pemilik tanah, pihak PT BBL juga dituding telah mengeluarkan Akta Jual Beli (AJB) palsu kepada ratusan konsumennya, karena dalam proses pembuatan AJB tidak pernah melibatkan para pemilik tanah.
Hal itu diungkapkan oleh Suhadi Hiusnandar salah seorang tim kuasa yang ditunjuk oleh pemilik tanah Johanes Maluda yang terkena pembebasan lahan seluas 10 hektare di Blok Patenggeng dalam proyek kavling buah Lantaburro tahap dua. Ia menjelaskan selama setahun pihaknya dijanjikan akan dilunasi sisa pembayaran sebesar Rp600 juta. Namun janji-janji manis baik dari Sunaryo selaku direktur PT. BBL maupun Kades Jaji tetap tidak ada itikad baik untuk melunasinya. Sementara menurutnya tanah milik Johanes sudah dijual sold out kepada konsumen.
“Sebelumnya kami sudah beberapa kali ketemu dengan Jaji untuk menagih sisa hutang dari hasil penjualan tanah kepada pihak PT. BBL, namun tetap tidak mau bayar, akhirnya atas inisiatif sendiri bersama pak Mulyana kami mendatangi kantor PT. BBL yang di Jonggol dan ketemu dengan Sunaryo, dari pihak PT. BBL berjanji akan melakukan pembayaran hari Senin (25/11/2019) kemarin. Namun tetap Naryo pun tidak bisa menepati janji. Karena sudah ilang kesabaran kami, makan kami terpaksa memasang kembali plang kepemilikan tanah dan melakukan penyegelan di cabang kantor PT. BBL. Kalau tetap tidak ada itikad baik, maka selanjutnya saya dengan pemilik tanah yang lainnya akan melaporkan PT. BBL dalam kasus penyerobotan tanah dan membuat AJB tanpa melibatkan pemilik tanah yang sah,” jelas dia kepada wartawan, Selasa (26/11/2019).
Senada dikatakan pemilik tanah lainnya, Mulyana menjelaskan dari luas tanah 7 hektare yang dimilikinya pihak Jaji belum membayar lunas, masih tersisa Rp250 juta lebih. Menurutnya sejak awal tidak ada perjanjian pembayaran per bulan, tetapi pada prosesnya dilakukan pembayaran sebulan sekali itu pun bayaranny dicicil dan tidak lunas.
“Karena dari awal urusannya dengan pak Jaji, maka yang saya desek sudah pasti lurah jaji agar melunasi pembayaran. Sisa hutang sebesar Rp.250 juta lebih, luas tanah 7 hektare dengan per meter hanya dihargakan Rp.30 ribu. Setiap uang yang masuk, pembayaran langsung oleh pak Jaji, saya tidak tahu dan tidak pernah dipertemukan dengan pihak Lantaburro,” jelas dia.
Ia menambahkan, pernah mendatangi kantor Lantaburro di Jonggol beberapa waktu yang lalu, namun tetap saja harus menghubungi Jaji. Ia juga menyayangkan tidak ada ikatan jual beli dan tidak akad apapun dalam transaksi jual beli tanah dengan pihak Lantaburro. Termasuk belum adanya komitmen dan pembayaran, sementara tanahnya sudah mulai di kavling oleh pihak Lantaburro.
“Saya tidak akan mengganggu proyek Lantaburro kalau pembayaran lancar, bahkan saya yang pertama kali memberikan akses jalan ke lahan yang lainnya, dengan syarat lahan saya jangan dulu dikavling sebelum pembayaran lunas. Namun, tiba-liba lahan saya sudah dikavling,” bebernya.
Bukan hanya itu saja, sambung dia, permasalahan terus mencuat karena tidak adanya transparansi dalam proses penjualan. Termasuk menjual lahan per meternya ke Lantaburro tidak dikasih tahu ke para pemilik tanah.
“Yang saya ketahui para pemilik tanah menjual tanahnya dengan harga yang murah dikisaran harga Rp.29 sampai Rp.30 ribu per meternya. Sementara keuntungan yang diambil oleh pihak Lantaburro sangat besar, kalau dirinci mereka menjual tanah ke konsumen dengan harga Rp.200 hingga Rp.300 ribu per meternya, artinya harga per seratus meter dijual ke konsumen dengan Rp.29 juta hingga Rp.30 juta. Emang miris,mereka mengambil keuntungan sangat besar, sementara pembayaran ke pemilik tanah dicicil dan tidak lunas,” tuturnya.
Mantan lurah Jaji ketika hendak di konfirmasi susah untuk ditemui. ( Rizal )