Ketika Paslon Kepala Daerah Dari Jalur Parpol Berpotensi Korupsi

Oleh : Muhamad Yani Rizal ( Dewan Redaksi SBNews ) (Serang, 18/01/2018)

SBNews – Banten | 27 Juli 2018 negeri ini akan mengadakan pilkada serentak di 171 daerah, untuk memilih kepala dan wakil kepala daerah. Ada 17 Provinsi akan memilih gubernur dan wakil gubernur. Sedangkan 154 kabupaten/Kota akan memilih bupati/walikota.

Masalahnya apakah paslon kepala daerah tersebut punya itikad membangun dan mensejahterakan masyarakat ?

Sebagai anak negeri yang peduli terhadap kelangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara, sudah saatnya kita cerdas menyikapi fenomena PILKADA LANSUNG, sejak tahun 2004- up date. Mulai dari pemberlakuan UU No. 32 Tahun 2004/ UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.

COST POLITIC

Untuk menjadi kepala daerah dibutuhkan biaya besar. Puluhan dan ratusan milyar digelontorkan oleh paslon. Mulai dari membangun opini, dukungan parpol pengusung, marketing political, atribut, operasional relawan pemenangan, saksi TPS, PPK dan KPU Kab/Kota/Prov.

Untuk menjadi kepala daerah di Jawa dan luar Jawa, besaran cost politik tentu saja berbeda. Mengingat penduduk Kab/Kota dan Provinsi di Jawa lebih padat. Tetapi ratio Cost politic : Jumlah penduduk tidak jauh berbeda. Bahkan nyaris sama. 

Persyaratan dukungan minimal perolehan kursi parpol yang 20 % atau 25 % akumulasi suara sah parpol pendukung pada Pileg 2014 dan syarat E-KTP minimal dari DPT Kab/Kota/Prov, merupakan indikator hight cost politic.

Jadi tidak heran bila mayoritas yang bisa menjadi paslon kepala daerah adalah para pengusaha. Kalaupun ada yang berasal dari birokrat, aktifis, akademisi yang punya kapasitas dapat dipastikan di back up oleh pemodal. Tentunya dengan deal kontrak politik, yang menguntungkan pemodal bila paslon tersebut terpilih. Biasanya di fasilitasi kemudahan mendapatkan kegiatan Pengadaan Barang/Jasa pada APBD, Perda tertentu yang berpihak kepada pemodal, perijinan, konsesi pertambangan, perkebunan dan sebagainya.

Jadi tidak heran banyak para kepala daerah di negeri ini melakukan praktek KKN.

COST POLITIC TIDAK BERBANDING LURUS DENGAN TAKE HOME PAY

THP Bupati/Walikota dan Gubernur (excluding DKI) di Jawa, yang berkisar Rp 45- Rp 100 jt per bulan, tentunya tidak bisa mengembalikan cost politic yang telah dikeluarkannya selama 5 tahun masa jabatannya.

Gonjang – ganjing tentang mahar politik yang diminta oleh parpol untuk pengusungan paslon kepala daerah pada pilkada serentak 2018, merupakan pertanda tidak sehatnya demokrasi di negeri ini.

Parpol sudah kehilangan marwah ideologi untuk membangun dan mensejahterakan bangsa dan negara, sesuai cita- cita Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945. Parpol terkesan sudah menjadi industri, yang profit oriented. Mengisi pundi- pundi rupiah bagi kepentingan oknum petinggi dan pendiri parpol, untuk kepentingan pribadi dan organisasi. Mereka telah paranoid dengan ideologi dan manifesto parpolnya. Uang adalah segalanya, untuk menggenggam kekuasaan. Dengan uang dapat membeli suara rakyat dan mempertahankan hegemoni- Nya.

Mayoritas anak bangsa yang masih dilanda kemiskinan, rendahnya sdm, pemahaman dan  politik adalah potensi membeli suara. Kebutuhan jangka pendek rakyat mayoritas tersebut mengakibatkan terjadinya money politic di grassroots.

Jadi tidak heran bila paslon kepala daerah terpilih, jauh dari ideal. Seperti panggang jauh dari api.

Kita tidak bisa menyalahkan para paslon terpilih tersebut. UU dan Peraturan telah memfasilitasi mereka. Bahkan paslon tunggal versus kotak kosong juga boleh. Para aktifis, akademisi dan orang pintar yang jujur dan punya leadership tidak bisa menjadi paslon, karena tidak punya uang banyak. Jadilah negeri ini, negara super korup. Data masyarakat transparansi internasional pada release tiap tahunnya yang menempatkan Indonesia lebih baik peringkat korupsinya ketimbang negara- negara Amerika latin dan Afrika tidak bisa di jadikan parameter. Data tersebut diperoleh berdasarkan kasus korupsi yang sudah inkrach di pengadilan. Padahal banyak kasus Korupsi yang tidak terdeteksi dan terungkap.

PASLON JALUR PERSEORANGAN

Sudah saatnya masyarakat melirik paslon jalur perseorangan untuk dipilih menjadi kepala daerah, tanpa menjustifikasi paslon dari parpol tidak pro rakyat. Lepaskan budaya ewuh pakewuh memilih paslon dari parpol, karena punya hubungan emosional, kekerabatan, pertemanan, relasi bisnis dsb. Bukankah budaya “ewuh pakewuh” salah satu indikator yang menghambat kemajuan banda ini. 

Mengapa kita harus memilih paslon jalur perseorangan ?

Ada beberapa variabel yang menentukan paslon perseorangan lebih baik ketimbang dari parpol :

1. Paslon tersebut punya tekad kuat untuk menjadi pemimpin sesuai kapasitasnya.

2. Paslon tersebut tidak mau berkonspirasi dengan parpol yang sarat dengan cost politic untuk mendapatkan dukungan. Dengan tujuan mewujudkan pemerintahan clean and good governance. Karena yang disebut pemerintah daerah adalah kepala daerah dan DPRD.

3. Tidak ingin ada beban politik dan moral untuk balas budi ke parpol pendukung. Tujuannya bila terpilih paslon tersebut bebas berekspresi, berkreasi dan berinovasi merencanakan dan mengimplementasikan pembangunan di daerah.

4. Melakukan pencerahan dan pencerdasan politik ke masyarakat. Bahwa parpol sudah tidak lagi pro rakyat dan hanya mementingkan kelompok dan golongannya, untuk hegemoni politik kekuasaan.

5. Tidak ada satu pasal pun di dalam UUD 1945, yang mengatakan bahwa kepala daerah dan wakil kepala daerah didukung oleh parpol. Yang ada hanya pasal bahwa presiden dan wakil presiden didukung parpol.