Berita hari ini
Anang Iskandar : UU Narkotika Tidak Menggunakan Sanksi Penjara Bagi Penyalahguna dan Pecandu
SIBER.NEWS, JAKARTA | Perkara penyalah guna disidik, dituntut dan didakwa seakan akan sebagai pengedar menjadi alasan hakim memutuskan penyalah guna dihukum penjara.
Alasan tersebut menyimpang bahkan bertentangan dengan tujuan UU narkotika (pasal 4d) dan kewajiban hakim (pasal 127/2) untuk menggunakan kewenangan dapat menjatuhkan hukuman rehabilitasi (pasal 103/1).
UU narkotika yang bersifat khusus tersebut, menghapus atau tidak menggunakan sanksi penjara bagi penyalah guna narkotika, sebagai gantinya adalah sanksi wajib menjalani rehabilitasi.
Penghapusan sanksi atau hukuman penjara bagi perkara penyalah guna narkotika diganti dengan sanksi menjalani rehabilitasi karena tujuan UU narkotika berlaku saat ini adalah menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial bagi penyalah guna dan pecandu.
Berarti negara yang menjamin ?
Ya, negara menjamin dan bertanggung jawab untuk merehabilitasi penyalah guna narkotika agar sembuh, tidak relap atau menjadi residivis.
Kalau penyalah guna relap atau menjadi residivis karena dihukum penjara, maka negara beresiko menderita kerugian yang lebih besar.
Itu sebabnya rehabilitasi diwajibkan bagi penyalah guna atau pecandu untuk lapor ke IPWL agar mendapatkan perawatan yang biayanya ditanggung negara melalui BNN, Kemenkes dan Kemensos.
Dan rehabilitasi sebagai bentuk hukuman menjadi kewajiban hakim memutuskan dan menetapkan yang bersangkutan menjalani rehabilitasi (pasal 103/1).
Rehabilitasi termasuk sanksi pidana pokok sama sebagaimana sanksi penjara, dimana pasal 103/2 menyatakan; masa menjalani rehabilitasi dihitung sebagai masa menjalani hukuman.
Perkara penyalah guna yang wajib dihukum menjalani rehabilitasi indikasinya seperti apa ?
Indikasi perkara penyalahgunaan narkotika adalah perkara kepemilikan narkotikanya untuk tujuan dikonsumsi sendiri dan tidak untuk dijual.
Dan bila barang bukti yang dibawa, dimiliki atau dikuasai pelaku jumlahnya terbatas untuk sehari pakai.
Kalau kepemilikan narkotikanya untuk dijual dan jumlah barang buktinya banyak, melebihi pemakaian sehari secara yuridis tergolong pengedar.
Tujuan kepemilikan ini yang tidak pernah ditanyakan oleh penyidik narkotika dalam berita acara pemeriksaannya dan tidak tergambar dalam tuntutan atau dakwaan jaksa penuntut umum dalam dakwaannya.
Sehingga seakan akan unsur penyalah guna seperti pengedar.
Ancaman pidana penyalah guna dan pengedar apakah ada bedanya ?
Dibedakan, ancaman pidana bagi pengedar atau kejahatan yang berhubungan dengan peredaran, bertanda khas yaitu mencantumkan ancaman pidana minimun dan pidana maksimum.
Sedangkan ancaman bagi penyalah guna hanya mencantumkan ancaman pidana maksimum.
Kasihan dong kalau penyalah guna diancam dengan pidana minimum seperti pengedar ?
Ya, kasihan faktanya seperti itu. Yang dirugikan bukan saja terdakwa yang kehilangan hak untuk sembuh, keluarganya kerugian secara moril dan materiil yang tidak sedikit.
Negara juga dirugikan karena menjadi kebebanan masalah seperti over kapasitas, tumbuhnya residivisme serperti Ibra sampai 4 kali keluar masuk penjara, Jenniver Dunn juga 3 kali keluar masuk penjara dan ribuan lainnya yang bisa menyebabkan lost generation.
Bagaimana kalau perkara penyalah guna tetapi didakwaannya sebagai pengedar tanpa mencantumkan dakwaan sebagai penyalah guna ?
Itu terjadi karena kekurangcermatan penerapan pasal dalam dakwaan, hal tersebut bisa karena kelalaian penyidik atau penuntut umum bisa juga karena rekayasa agar terdakwa memenuhi sarat ditahan dan dihukum penjara.
Apakah putusan hakim tetap memenuhi dakwaan jaksa dengan sesuai KUHAP ?
Tidak, karena UU narkotika mengatur ketentuan “khusus” yang bersifat mengesampingkan dakwaan jaksa berdasarkan ketentuan yang bersifat “umum”.
Ketentuan khusus tersebut adalah:
Bahwa hakim harus mengacu pada tujuan UU narkotika yaitu menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial bagi penyalah guna dan pecandu (pasal 4d).
Bahwa tujuan kepemilikan narkotika bagi penyalah guna adalah untuk dikonsunsi atau digunakan sendiri bukan untuk dijual (pasal 127/1).
Bahwa perkara penyalah guna narkotika adalah perkara yang jumlah kepemilikan narkotikanya terbatas untuk sehari pakai (ada batasan gramasinya berdasarkan SE MA no 4/2010).
Bahwa dalam memeriksa perkara penyalahgunaan narkotika (pasal 127/2) yang anatomi perkaranya seperti tersebut diatas, hakim wajib memperhatikan pasal 54, 55 dan pasal 103.
Bahwa hakim diberi kewenangan (pasal 103/1) dapat menjatuhkan dan menetapkan yang bersangkutan menjalani rehabilitasi baik terbukti maupun tidak terbukti bersalah (kewenangan bersifat wajib).
Bahwa hakim wajib memperhatikan kondisi penyalah guna, apakah tergolong korban penyalah guna atau pecandu (pasal 54).
Oleh karena itu hakim harus dengan sungguh sungguh mempertimbangkan kondisi/taraf kecanduan terdakwa sehingga wajib diperlukan adanya keterangan ahli melalui proses assesmen untuk menentukan lamanya menjalani rehabilitasi dan sebagai standar proses terapi dan rehabilitasi (SE MA no 4 tahun 2010).