Agama
H. Jayanis: Pemerintah Mestinya Tidak Sembarang Larang Celana Cingkrang dan Cadar
Penulis :
Jakarta, SiberNews – Polemik soal celana cingkrang/ gantung serta cadar yang dikabarkan mendapat pelarangan dari Menteri Agama yang baru, Fachrul Razi, direspon berbagai pihak. Ustadz kondang, termasuk Yusuf Mansur ikut berkomentar dan mengatakan; bahwa dalam kehidupan, pasti ada banyak perbedaan yang bisa datang dari berbagai aspek, misalnya agama, budaya, dan lainnya. Dari situ bisa saja muncul perselisihan, baik itu soal paham, pendapat, cara pandang, hingga cara berpakaian.
Senada dengan Ustadz Yusuf Mansur, H. Jayanis, aktivis senior yang saat ini juga menjabat Ketua Umum Ikatan Keluarga Alumni Pelajar Sungai Limau (IKAPS) itu, menyatakan soal perbedaan pendapat yang katanya dapat mengarah pada hukum fiqih, juga perbedaan ‘Mahzab’; Mahzab Hanafi, Safi’I, Hambali dan Maliki.
Artinya, pembahasan soal celana jingkrang dan cadar adalah pembahasan perbedaan faham, ilmu fiqih dan juga mahzab, yang tidak akan selesai – selesai, apabila tidak didudukkan dengan disiplin ilmunya. Jayanis mencontohkan tentang air wudhu, dimana empat mahzab yang itu saja sudah sangat berbeda menentukan syarat sah air yang dapat dipakai bersuci, apalagi masalah berpakaian; cadar dan celana cingkrang tersebut.
“Syarat berpakaian didalam Islam harus menutup aurat bagi wanita juga laki laki. Bagi wanita, menutup aurat itu minimal menutup seluruh tubuh kecuali muka, itu minimal. Sementara, maksimal nya ulama berbeda pendapat; di Saudi Arabia disamping pake cadar di tambah lagi purdah, yaitu kain jarang yang menutupi dari jidat sampai menutupi muka sama sekali di Afganistan juga sama. Sedangkan di Indonesia yang mengaku bermahzab Safi’i, sebenar nya kalau mereka konsisten dengan mahzab nya harus nya pakai cadar. Di pesantren – pesantren saja, pakai cadar hal yang lumrah,”ungkap H. Jayanis, baru – baru ini, (2/11/2019).
“Selama ini, apakah pernah kita diganggu atau terganggu dengan cadar. Sedangkan perempuan, maaf, kalau berjalan hampir kelihatan celana dalamnya, tidak pernah di permasalahkan?,” imbuhnya.
Lebih lanjut menurut Jayanis, bahwa Radikalisme berasal dari kata radik, artinya menghujam; mendasar, yakni tidak jelek – jelek amat. Setiap muslim pemahaman harus punya landasan, mendasar, tertanam didasar hati, dibenarkan dengan hati, menancap di hati, di ucapkan dengan lisan, diamalkan dengan perbuatan.
“Kita beragama tidak boleh ikut – ikutan, apalagi main di pinggir. Ketika kita mengucapkan syahadat, berarti kita siap dengan konsekwensi nya, itu aturannya,” tukas H. Jayanis.
“Padahal, sebenar nya salah satu tugas pemerintah bagaimana bisa menjamin hak setiap warga negara menjalankan kewajiban agamanya. Ini menjadi perhatian, tidak lantas melakukan upaya yang terkesan membatasi hak beragama seseorang, selama tidak bertentangan dengan aturan agama dan Negara,” pungkasnya.
“Apabila ada yang melarang pakai celana jingkrang ini, apakah tidak melanggar Hak Asasi Manusia (HAM?. Melarang seseorang menjalankan ajarannya, terutama ajaran Islam, apakah tidak melawan Undang – Undang Dasar (UUD)? Yang ibadah setiap ummat beragama di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ini telah dijamin. Lalu ketika dikatakan celana cingkrang mengganggu keamanan, apakah benar, apakah Ustadz yang selama ini memakai celana tersebut mengganggu keamanan. Bisa saja hanya oknum, yang mungkin berniat buruk dan/ atau berniat melakukan perbuatan kriminal lalu memakai celana cinkrang, seolah – olah Ia terkesan alim dan lain sebagainya, ini perlu digali dan dikaji secara mendalam lagi, jangan sampai menjadi tuduhan tak berdasar,” tutup H. Jayanis. (Rico Adi Utama)