Uncategorized
Mencari Sosok Pemimpin Di Daerah
PILKADA LANGSUNG
Implementasi dari demokrasi liberal, dengan “One man one vote”, telah melahirkan sosok- sosok kepala daerah terpilih karena memiliki dana relatif besar. Milyaran dan puluhan milyar untuk kabupaten/kota. Bahkan ratusan milyar untuk tingkat provinsi.
Besaran dana tersebut, diperuntukan :
I. Jalur Parpol
Minimal 20 % dari jumlah kursi di DPRD, atau 25 % akumulasi suara sah dari parpol pengusung pada Pileg 2014.
a. Mahar parpol- parpol pengusung untuk menggerakkan mesin politiknya. Besaran mahar parpol, tentu saja tidak sama. Tergantung grade partai. Ada grade papan atas, tengah dan bawah. Partai grade papan atas, bisanya mematok mahar secara glondongan. Berbeda dengan parpol papan tengah dan bawah, yang maharnya biasanya hitungan per kursi di DPRD.
b. Survey opini dari lembaga survey tentang popularitas dan elektabilitas calon,
c. Marketing political untuk pembentukan dan pengembangan opini publik,
d. Kampanye, mulai dari honor pengerahan massa, kendaraan
, atribut, konsumsi dsb.
e. Operasional menggerakkan relawan pemenangan,
f. Biaya saksi di.TPS, PPS, PPK dan KPU (Kab/Kota/Prov).
JALUR PERSEORANGAN
Calon kepala daerah melalui jalur perseorangan, harus memenuhi ketentuan dukungan tanda tangan masyarakat dan foto copy E KTP :
~Penduduk 2 jt : 6,5 % dari DPT,
~ Penduduk 2~6 jt : 8,5 % dari DPT,
~ Penduduk 6- 12 jt : 7,5 % dari DPT,
~ Penduduk > 12 jt : 6,5 %
Persyaratan tersebut tentu saja sangat berat bagi calon Kepala daerah dari jalur perseorangan. Mengingat biaya operasional untuk mendapatkan persyaratan dukungan tersebut, juga dibutuhkan biaya relatif besar. Selain operasional relawan, juga sudah menjadi rahasia umum bahwa untuk mendapatkan foto copy tersebut tidak gratis. Calon independen yang mayoritas instant mencalonkan diri sebagai kepala daerah, tanpa membangun opini, tentang sosoknya, visi misi dan pendekatan ke masyarakat jauh- jauh hari sebelumnya, menyebabkan foto copy KTP ada maharnya.
Fenomena diatas merupakan hal faktual tentang besarnya biaya yang dikeluarkan oleh calon Kepala daerah.
Biaya tersebut belum termasuk, biaya penjemputan suara konsituen di TPS, yang dikemas dengan makan- makan pada malam menjelang hari H. Ekstremnya bagi para paslon yang ambisi menang, ada yang melakukan serangan fajar. Bagi- bagi uang per kepala, agar mencoblos Paslon di TPS.
SIASAT MENYIASATI UNTUK MENJADI KEPALA DAERAH
Di era global kapitalisme ini, orang pintar saja tidak cukup. Dia juga harus cerdas. Itupun tidak cukup, dia harus lihai. Ternyata lihai saja masih kurang, dia harus licik untuk mencapai tujuan.
Dengan diperbolehkannya paslon tunggal pad Pilkada 2018, tentu saja bagi Paslon yang punya dana termasuk patahana, mengimplementasikan kelicikannya. Pesaingnya cuma kotak kosong. Semua parpol diborong. Minimal memasang paslon boneka/abal-abal, yang dibiayai olehnya.
Pilkada Serentak 2018 berdasarkan informasi KPU, paslon tunggal ada di 13 daerah. Diantaranya di wilayah Provinsi Banten, yaitu : Kota Tanggerang, Kabupaten Tanggerang dan Lebak.
Pertanyaannya mengapa itu bisa terjadi ? Ya mudah sekali untuk menjawab.
Hal tersebut, bisa karena tidak ada paslon lain yang berani maju sebagai peserta pilkada. Dia sudah paranoid bersaing dengan patahana. Atau…memang sudah by design.
Parpol- parpol yang mayoritas pragmatis, dengan mudah digiring melakukan monopoli dan oligopoli politik.
Seperti yang terjadi di 3 Kab/Kota di Provinsi Banten. 10- 12 parpol yang memiliki kursi di DPRD diborong. Tentu saja masyarakat tidak punya pilihan untuk memilih dan menentukan sosok kepala daerah yang dianggap mumpuni.
TYPOLOGI PASLON KEPALA DAERAH
Dengan diberlakukannya pemilihan langsung, dari pengamatan ada 3 typologi kepala daerah :
1. Hanya ingin mengangkangi APBD. Jadi tidak heran banyak kepala daerah oleh KPK karena kasus KKN. Bahkan rumornya ada ratusan Kepala Daerah berpotensi ditangkap KPK, karena dugaan KKN.
2. Untuk prestise. Budaya feodal yang masih melekat di sebagian besar anak bangsa ini, khususnya para orang kaya. Berlomba ingin menjadi Kepala daerah ( Bupati/ Wakikota/Gubernur), untuk menjadi orang nomer 1 yang terhormat di daerahnya. Terlepas apakah dia punya leadership dan kemampuan manajemen mengelola pemerintahan. Khususnya di daerah. Tidak heran bila timbul politik dinasti yang melahirkan raja- raja kecil. Hal tersebut ya sah- sah saja dan sangat manusiawi. Teori Abraham Maslow kan mengatakan : ” Manusia bila sudah tercukupi kebutuhan basic nya (primer, sekunder, tertier), dia akan butuh rasa aman, penghargaan dan aktualisasi diri. Tentu saja aktualisasi diri tersebut relatif. Bisa positif dan negatif. Tergantung akhlak orang tersebut.
3. Untuk mengabdi kepada masyarakat. Membangun daerah dengan kreatifitas dan inovasi mengeksplore potensi sda, ade dan sdm yang ada.
KEPALA DAERAH IDAMAN
Gubernur/Bupati dan Walikota adalah sosok pemimpin dan penyelenggara negara di daerah. Sudah seyogyanya sosok tersebut memiliki kapasitas dan kompetensi. Agar perencanaan dan program pembangunan antara pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/Kota dapat bersinergi. Sesuai dengan UU Perencanaan Pembangunan Nasional. Ironisnya antar kabupaten dan kota saja dalam satu provinsi tidak sinergi dan terintegrasi. Terkesan jalan masing- masing. Ya karena tidak ada lagi jalur komando setelah pemberlakuan otda dan pilkada langsung.
Kepala daerah yang kita idamkan tentu saja :
” Bukan sosok yang CERDAS secara intelektual (IQ), tetapi juga harus memiliki kecerdasan EMOSI (EQ), SPIRITUAL (SQ) dan KREATIF (CQ). Dengan demikian ada INTEGRITAS dari sosok tersebut yang memang memiliki KAPASITAS sebagai PEMIMPIN.”
