Agama
WACANA MELAFDKAN NIAT DIDALAM SHALAT (ushalli)
Cilegon,- Siber.News || Ushalli Dalam Pandangan Madzhab Arba’ah (Empat madzhab fiqih dari kalangan ahli sunnah yang masih bertahan dan diamalkan kaum muslimin hingga saat ini).
Fiqh Aswaja selama ini terkenal karena kemampuannya menampung begitu banyak perbedaan pendapat. Berbeda pendapat diperbolehkan selama berdasar pada dalil yang kuat. Akan tetapi Fikih Aswaja tidak mentolerir adanya kebohongan. Namun, ada saja orang yang ngaku “Manhaj Salafi” di-ikuti jamaat nya yang sengaja berbohong atas nama Mufti fatwa Mazhab Syafi’i, yaitu Imam Nawawi. Mereka tak ragu MEMBUAT NARASI BOHONG seolah imam tersebut melarang pelafalan niat shalat.
Padahal sebagaimana kita tahu seluruh pengikut Syafi’iyah di penjuru dunia ini terbiasa melafalkan niat shalat dengan mengucap kata “Ushalli” sebelum Takbiratul Ihram. Hal itu mengesankan para pengikut Mazhab Syafi’i di seluruh dunia mengikuti pendapat tak jelas yang tak direstui para Imam Mufti Syafi’iyah.
“Niat yang wajib dalam wudhu adalah niat di dalam hati. TIDAK WAJIB MENYERTAINYA DENGAN PENGUCAPAN LISAN dan tidak cukup apa bila di lisan saja. APABILA NIAT DI HATI DAN LISAN ITU DIKUMPULKAN (DILAKUKAN SEMUA), MAKA ITU LEBIH KUAT DAN LEBIH UTAMA. Inilah yg dikatakan oleh para sahabat (para ulama mazhab Syafi’i)” dan mereka sepakat atas ini. Lalu dalam bab lain, beliau menjelaskan lagi hal ini sebagai berikut:
ومحل النية القلب ولا يشترط نطق اللسان بلا خلاف ولا يكفي عن نية القلب بلا خلاف ولكن يستحب التلفظ مع القلب كما سبق في الوضوء والصلاة
“Tempat niat adalah di dalam hati dan tidak disyaratkan untuk diucapkan dengan lisan tanpa ada perbedaan pendapat. Ibadah itu tidak cukup bila tanpa diniatkan di dalam hati, hal ini tanpa ada perbedaan pendapat. Akan tetapi DISUNNAHKAN MELAFALKAN NIAT beserta niat dalam hati tersebut, sebagaimana telah dibahasdi dalam bab wudhu dan shalat.
Sebenarnya tentang melafalkan atau mengucapkan niat, misalnya membaca “Ushalli fardla maghribi tsalasa raka’atin mustaqbilal kiblati ada’an lillahi ta’ala” (Saya berniat melakukan shalat fardlu mahrib tiga rakaat dengan menghadap kiblat dan tepat pada waktunya semata-mata karena Allah) pada menjelang takbiratul ihram dalam shalat mahrib adalah sesuatu yang sudah lazim di kalangan “Aswaja”. Tetapi menjadi sesuatu yang dipermasalahkan oleh orang² yang tidak “BERMADZHAB“.
Adapun hukum melafalkan niat shalat pada saat menjelang Takbiratul Ihram menurut kesepakatan para pengikut Mazhab Syafi’iyah dan pengikut Mazhab Hanabilah adalah sunnah, karena melafalkan niat sebelum takbir dapat membantu untuk “memantapkan hati sehingga membuat seseorang lebih khusyu’ dalam melaksanakan shalatnya”.
Jika seseorang salah dalam melafalkan niat sehingga tidak sesuai dengan niatnya, seperti melafalkan niat shalat ‘Ashar tetapi niatnya shalat Dzuhur, maka yang dianggap adalah niatnya bukan lafal niatnya. Sebab apa yang diucapkan oleh mulut itu (shalat ‘Ashar) bukanlah niat, ia hanya membantu mengingatkan hati. Salah ucap tidak mempengaruhi niat dalam hati sepanjang niatnya itu masih benar.
“Menurut pengikut Mazhab Malikiyah dan pengikut Hanafiyah bahwa melafalkan niat shalat sebelum takbiratul ihram tidak disyari’atkan kecuali bagi orang yang terkena penyakit was-was (peragu terhadap niatnya sendiri)”.
Menurut penjelasan Malikiyah, bahwa melafalkan niat shalat sebelum takbir menyalahi keutamaan (khilaful aula), tetapi bagi orang yang terkena penyakit was-was hukum melafalkan niat sebelum shalat adalah sunnah.
Sedangkan dalam Hanafiyah bahwa melafalkan niat shalat sebelum takbir adalah bid’ah, namun dianggap baik (istihsan) melafalkan niat bagi orang yang terkena penyakit was-was.
Sebenarnya tentang melafalkan niat dalam suatu ibadah wajib pernah dilakukan oleh Rasulullah saw pada saat melaksanakan ibadah haji. Dari Annas ra :
سمعت رسولَ اللهِ صَلى الله ُعلَيْهِ وسلم يقوْل لبيْك عمرة وحجا
“Saya mendengar Rasullah saw mengucapkan, “Labbaika, aku sengaja mengerjakan umrah dan haji”.”
(Hr Muslim).
Memang ketika Rasulullah melafalkan niat itu dalam menjalankan ibadah haji, bukan shalat, wudlu’ atau ibadah puasa, tetapi tidak berarti selain haji tidak bisa di-QIYAS-kan atau dianalogikan sama sekali atau ditutup sama sekali untuk melafalkan niat. Memang tempatnya niat ada di hati, tetapi untuk sahnya niat dalam ibadah itu disyaratkan empat hal, yaitu Islam, berakal sehat (tamyiz), mengetahui sesuatu yang diniatkan dan tidak ada sesuatu yang merusak niat. Syarat yang nomor tiga (mengetahui sesuatu yang diniatkan) menjadi tolok ukur tentang diwajibkannya niat. Menurut ulama fiqh, niat diwajibkan dalam dua hal.
– Pertama, untuk membedakan antara ibadah dengan kebiasaan (adat), seperti membedakan orang yang beri’tikaf di masjid dengan orang yang beristirahat di masjid.
– Kedua, untuk membedakan antara suatu ibadah dengan ibadah lainnya, seperti membedakan antara shalat Dzuhur dan shalat ‘Ashar. Karena melafalkan niat sebelum shalat tidak termasuk dalam dua kategori tersebut tetapi pernah dilakukan Rasulullah dalam ibadah hajinya, maka hukum melafalkan niat adalah sunnah.
Sementara Imam Ramli Ulama Mazhab Syafi’i yang digelari Syamsuddin (Mataharinya agama) dan terkenal dengan sebutan “Asy-Syafi’i Ash-Shaghir”(Imam Syafi’i kecil). Lahir di Mesir 919 H/bulan Juli 1513 , salah satu mufti “Fatwa” Madzhab Safeiyyah yg biasa diambil fatwanya apa bila tidak ditemukan Qoul Imam an Nawawi, maka Imam Ramli mengatakan:
وينْدبُ النطق بالمنوي قبيْل التكبيْر ليساعد اللسان القلْب ولأنه أَبعدُ عَنِ الوِسوَاس ولِلخروج منْ خلاف مَن أَوجبَه
“Disunnahkan melafalkan niat menjelang takbir (shalat) agar mulut dapat membantu (kekhusyu’-an) hati, agar terhindar dari gangguan hati dan karena menghindar dari perbedaan pendapat yang mewajibkan melafalkan niat”.
Jadi, fungsi melafalkan niat adalah untuk mengingatkan hati agar lebih siap dalam melaksanakan shalat sehingga dapat mendorong pada kekhusyu’an. Karena melafalkan niat sebelum shalat hukumnya sunnah, maka jika dikerjakan dapat pahala dan jika ditinggalkan tidak berdosa. Adapun memfitnah, bertentangan dan perpecahan antar umat Islam karena masalah hukum sunnah adalah menyalahi Syri’at Allah SWT.
(Nihayatul Muhtaj karya ar-Romli, sang Muharrir Mazhab Asy-Syafi’i).
والله اعلم
Penulis: Sirojul Fahmi
Sebagai: Guru MDTA Alkhairiah Jangkar Kulon
