Berita hari ini
Mahasiswa KIP: Gaya Elit, Belajar Sulit
Penulis: M. Wildan Budiman. S.M CPM
Program Kartu Indonesia Pintar (KIP) Kuliah diciptakan untuk membuka gerbang pendidikan tinggi bagi mereka yang berasal dari keluarga kurang mampu. Pemerintah berharap, melalui bantuan ini, lahirlah generasi emas yang berpendidikan dan mampu memutus rantai kemiskinan. Namun, di balik semangat mulia itu, muncul fenomena yang ironis: sebagian mahasiswa penerima KIP justru lebih sibuk tampil “elit” daripada menunaikan kewajiban utama mereka — belajar.
Dari Keterbatasan ke Kemewahan Semu
KIP seharusnya menjadi simbol perjuangan dan kesederhanaan. Tapi di beberapa kampus, muncul tren baru: mahasiswa KIP yang tampil bak sosialita. Ponsel mahal di tangan, nongkrong di kafe setiap akhir pekan, dan gaya hidup konsumtif seolah menjadi ukuran “eksistensi” di lingkungan pergaulan kampus.
Padahal, banyak di antara mereka yang biaya hidup dan kuliahnya ditanggung negara — uang rakyat. Fenomena ini memunculkan pertanyaan tajam: apakah bantuan itu benar-benar dimanfaatkan untuk pendidikan, atau justru untuk mengejar gengsi?
Lupa Asal, Hilang Arah
Ironinya, sebagian mahasiswa KIP lupa alasan mereka mendapatkan bantuan itu: karena negara percaya mereka memiliki tekad belajar tinggi. Namun ketika kemudahan datang, semangat belajar seakan memudar.
Tugas kuliah dikerjakan asal-asalan, nilai menurun, dan tanggung jawab akademik terabaikan. Mereka terjebak dalam ilusi kebebasan finansial sesaat, lupa bahwa status “mahasiswa KIP” bukan kebanggaan kosong, melainkan amanah.
Menjadi penerima KIP seharusnya berarti menjadi panutan, bukan sekadar penerima bantuan. Tapi sayangnya, sebagian justru kehilangan arah antara tuntutan moral dan godaan gaya hidup kampus modern.
Pendidikan Bukan Sekadar Privilege
KIP bukan tiket untuk hidup bergaya, melainkan kesempatan langka untuk mengubah nasib. Mahasiswa yang mendapatkan fasilitas pendidikan tanpa membayar harusnya memiliki rasa tanggung jawab lebih tinggi dibanding yang membayar mahal.
Namun realitas di lapangan sering berbanding terbalik. Ada yang lupa belajar, jarang masuk kuliah, bahkan berani menunda tugas dengan alasan sepele. Jika mental seperti ini terus dibiarkan, maka program mulia KIP bisa kehilangan maknanya — dari simbol kesetaraan menjadi ladang kemalasan.
Saat Bantuan Tidak Dibarengi Kesadaran
Negara telah menjalankan perannya dengan memberi akses. Tapi tanpa kesadaran diri, bantuan akan berubah menjadi beban. Mahasiswa KIP yang lalai belajar sejatinya sedang menipu dirinya sendiri, bukan hanya merugikan negara.
Kemajuan bangsa tidak ditentukan oleh banyaknya bantuan, tapi oleh kualitas penerima bantuan itu sendiri. Ketika KIP disalahgunakan untuk gaya hidup, maka cita-cita mencerdaskan kehidupan bangsa justru menjadi ilusi.
Saatnya Kembali pada Esensi
Sudah saatnya mahasiswa KIP sadar: yang membuat seseorang bernilai bukan gaya hidup, tapi prestasi dan kontribusi. Bukan seberapa mahal barang yang dipakai, tapi seberapa keras usaha yang dilakukan untuk meraih mimpi.
Menjadi mahasiswa KIP adalah kehormatan. Namun kehormatan itu hanya bermakna jika dibarengi kesungguhan belajar, kedewasaan berpikir, dan kesadaran moral untuk membalas kepercayaan negara dengan prestasi







